SAYA mengenal Syiah sebagai sebuah gerakan keagamaan sudah sejak SMA. Tapi merasakan bagaimana militansi mereka adalah ketika mendapati dua kejadian penting ketika awal masuk kuliah di UGM, tahun 1996. Pertama, ketika seorang dai mahasiswa STAIMS Syuhada dengan tenang memutar ceramah seseorang yang isinya bikin panas di telinga saya. Sebagai anak muda yang tengah bergairah untuk mempelajari Islam, isi ceramah itu berseberangan dengan apa yang saya pelajari selama ini.Herannya, teman saya begitu menikmati. Padahal, saya amat yakin dia juga berbeda pandangan dengan si penceramah.“Saya tidak berniat mengikuti isi ceramahnya. Saya belajar retorikanya, Suf,” kata teman tersebut, seolah mengerti keheranan saya.
Dalam hati saya harus mengakui, lelaki di rekaman kaset yang diputar di toko Sarana Hidayah (selatan Kehutanan UGM) begitu memikat dan menggerakkan ceramahnya. Lelaki itu di kemudian hari saya ketahui pakar komunikasi, dan tokoh nasional sekaligus intelektual Syiah di Bandung.
Sejak itu saya harus mengakui, sebagaimana teman senior saya yang dai itu, retorika adalah kelebihan penganut Syiah, takterkecuali di negeri ini. Karena retorika ini berjalan seiring dengan kemampuan otak untuk berpikir. Sudah jamak diketahui bahwa sekte Syiah piawai dalam berfilsafat. Kritik akurat terhadap ideologi materialisme dari Barat yang dilakukan para intelektual Syiah disebut-sebut salah satu jasa mereka dalam dunia jagat engetahuan di dunia Islam.
Karena retorika pula saya jadi terkesan mendalam dengan kejadian kedua. Lebih tepatnya rasa perih; sebuah guratan yang saya yakin dialami banyak orang. Ketika itu ada mahasiswi Sunni dari kalangan Usrah (Tarbiyah?) yang dengan percaya diri menantang debat dengan seorang mahasiswa Syiah. Tidak main-main jaminannya. Siapa yang menang debat berhak menikahi pihak yang kalah; pihak yang kalau harus ikut dengan mazhab si pemenang debat. Bagaimana hasilnya?
Kejadian ini, seperti diceritakan seorang dai Usrah dari mulut ke mulut sebagai pelajaran tentunya, menghasilkan ikutnya sang mahasiswi menjadi pemeluk Syiah. Ia, selain diperistri, juga berpindah aliran keagamaan hanya karena di forum debat itu gagal memenanginya. Lagi-lagi soal retorika, filsafat, dan mantiq, Syiah piawai. Sebaiknya tidak mencoba-coba bergaya—apalagi takabur merasa lebih baik—tapi ternyata ilmu kita dangkal. Bisa-bisa niat mendakwahi teman yang menganut Syiah malah kita yang terjerumus sebaliknya. Sungguh, pembaca budiman, ini bukan main-main. Kapasitas memainkan pikiran dan retorika bila tidak memadai, hanya akan memunculkan kita yang merasa benar pada akhirnya sebagai pecundang.

Baca artikel  selengkapnya di MUT’AH DALAM SYIAH tafhadol
Suatu ketika saya mewakili gerakan mahasiswa Islam yang saya ikuti berduduk bersama aktivis HMI Dipo (asas Pancasila) membahas soal serangan WTC 9/11. Meski sama-sama Islam, dan pengundangnya pun organisasi mahasiswa Islam pula, akan terjadi aklamasi pandangan. Tidak! Si teman panel saya dengan berapi-api menyudutkan Usamah bin Laden dan pandangan jihadnya. Aktivis HMI yang sudah saya ketahui kader Syiah ini enggan mengutip satu nama sekali pun dari tokoh Sunni. Dia lebih fasih menyebut filosof Barat ketimbang nama Imam Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dalam konteks topik yang relevan. Dia selalu mengutip, dengan bangga penuh militansi, nama Muthahari, Syariati, atau Khomeini.
Tidak mau teman tadi mendominasi forum, sederhana saja yang harus saya lakukan saat itu. Ini perang mental sekaligus uji nyali. Ketika dia bicara kedalaman kearifan Khomeini, saya sebut Hasan al-Banna. Saat dia bicara kecerdasan penuh kelembutan Muthahari, saya tampilkan komentar Yusuf al-Qaradhawi. Dan ketika sang teman menggebu bicara ala anak revolusioner semisal Syariati, saya majukan Sayyid Quthb sebagai contoh ideal. Merasa taktiknya terbaca, lelaki ini surut mengampanyekan kesyiahannya. Belakangan lelaki pintar ini moncer karier di bidang akademiknya. Namanya sering ditulis di media; wajahnya kerap hadir di televisi selaku pemerhati dan pemegang lembaga antikorupsi di UGM.
Laporkan iklan?
Hampir tiga tahun berikutnya, pengalaman berpanel dengan aktivis HMI cum Syiah itu saya abaikan. Ini kesalahan saya. Syahdan, di Masjid Mardliyah ada salah satu pengurus takmir yang tengah demam wacana. Proses pencariannya tidak terfasilitasi oleh sangmurabbi di halaqahnya. Saya ketika itu mendorongnya untuk terus mencari ilmu. Saya lupa untuk memagarinya agar waspada dengan satu komunitas epistemik yang bisa memesonanya; kalangan Syiah.
Rausyan Fikr, benar saja membuatnya menjadi lebih nyaman di sana ketimbang berhimpun di kalangan yang dengar-taat kepada guru mengajinya begitu saja. Persis dialami adik tingkat saya di IAIN Yogyakarta. Sama-sama tidak puas dengan komunitas keagamaan yang ada, dahaga wacana didapati di komunitas Syiah intelektual di dekatRingroad Utara Yogyakarta itu.
Belakangan, sang ikhwan yang menyeberang aktif di Rausyan itu secara sadar hengkang dari ketakmiran. Teramat beda dunia mereka. Di sisi lain, tidak bisa tidak, bagi takmir Mardliyah untuk tidak bersikap diam ketika ikhwan tadi berani menghadirkan ketua umum Rausyan di pengajian masjid yang identik dengan kalangan Tarbiyah. Keluarnya si ikhwan meredamkan gejolak yang ada.
Bila dipikir-pikir, ikhwan tadi sebetulnya aset umat. Penanganan dan kurang terperhatikannya kebutuhan yang sesuai dengan kondisi psikologisnya mengakibatkan kekecewaan yang dipendam tersalurkan di tempat lain. Sayangnya, tempat itu amat jauh dari kata kebenaran, dalam perspektif ini.
Masih bisa diperpanjang sebenarnya catatan kenangan di sini, karena di waktu-waktu setelahnya beberapa adik angkatan di organisasi mahasiswa yang saya ikuti latah aktif diskusi di Rausyan. Atau bagaimana seorang ustad beken di area dakwah kampung di Yogyakarta pernah diboikot di masjid kisaran kampus UGM-IKIP (UNY) lantaran di masa lalunya sang ustad ini pernah tergoda mempelajari Syiah (bahkan rumornya menjadi Syiah, sebelum akhirnya mengaku bertobat). Saya pikir cukup ini saja sebagai sebuah bagi pengalaman bahwa di Kota Pelajar, ideologi Syiah telah lama hadir dan bersemai.
Buku-buku pemikiran tokoh Syiah juga sudah ada jauh mendahului nama-nama alim Hanbaliyah seperti al-Albani, Utsaimin, bin Baz, di rak-rak buku perpustakaan masjid kampus dan/atau kampung. Kehadiran buku tokoh Syiah, bersama-sama buku-buku aktivis gerakan Ikhwanul Muslimin. Meski berseberangan ideologi dan aliran keagamaanya, Syiah dan IM masuk ke jagat pemikiran aktivis Islam, yang kala itu masih diteror stigma ekstrem kanan oleh penguasa Orba.
Sebagai penutup, saya bisa sebut, kalau Syiah Bandung itu praktisi, maka Syiah Yogya itu tidak tampak, lantaran ia main di pemikiran. Anda bisa jawab mana yang berbahaya di antara keduanya; yang praktik atau ideologis.
Yusuf Maulana
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: